Beranda | Artikel
ADAB TENTANG NIAT
Kamis, 27 Oktober 2022

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah سبحانه وتعالى sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah سبحانه وتعالى karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad ﷺ telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau ﷺ bersabda:

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوْبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. (HR. Muslim, no. 228)

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ ص وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمِسِيْحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Dari Abu Sa’îd, dia berkata: “Rasulullah ﷺ mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain”. (Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204)

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu dalam banyak hadits Nabi ﷺ mengingatkan hal ini.Di antara lain, sabda beliau ﷺ :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. (HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb رضي الله عنه )

Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah سبحانه وتعالى jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ . Beliau ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. (HR. Muslim, no. 2564)

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah سبحانه وتعالى kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:

﴿ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥ ﴾

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs al-Bayyinah/98:5)

NIAT DALAM KEBAIKAN

Di antara rahmat dan anugerah Allah سبحانه وتعالى adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan (niat) berbuat keburukan belum ditulis. Nabi ﷺ menjelaskan hal ini di dalam hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مَائَةِ ضِعْفٍ إلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah سبحانه وتعالى menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali-lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah سبحانه وتعالى menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika diaberkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah سبحانه وتعالى menulis satu keburukan saja.(HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131)

NIAT DALAM KEBURUKAN

Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allahk. Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَالقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِيْ النَّارِ فَقُلْتُ يَارَسُوْلَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

 Jika dua orang Muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: “Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. (HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau ﷺ bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٌ يَدِيْنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَايُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهُ سَارِقًا

Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. (HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”)

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT

Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi ﷺ di dalam hadits berikut ini:

عن أبي كبشة الأنَّماريُّ أنَّه سمع رسول ﷺ يقول: إنما الدنيا لأربعةِ نفرٍ : عبدٍ رزقهُ الله مالاً وعلما فهو يتقي فيه ربه ويصل فيه رحمة ويعلم لله فيه حقا فهذا بأفضل المنازل وعبد رزقه الله علما ولم يرزقه مالا فهو صادق النية يقول لو أنّ لي مالا لعملت بعمل فلان فهو بنيته فأجرهما سواء وعبد رزقه الله مالا ولم يرزقه علما فهو يخبط في ماله بغير علم لا يتقي فيه ربه ولا يصل فيه رحمه ولا يعلم لله فيه حقا فهذا بأحبت المنازل وعبد لم يرزقه الله مالا ولا علما فهو يقول لو أن لي مالا لعملت فيه بعمل فلان فهو بنيته فوررهما سواء

Dari Abu Kabsyah al-Anmâri رضي الله عنه , bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah سبحانه وتعالى berikan rizki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertakwa kepada Rabbnya pada rizki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizkinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah سبحانه وتعالى padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah سبحانه وتعالى ). Hamba yang Allah سبحانه وتعالى berikan rizki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah سبحانه وتعالى berikan rizki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuatsembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah سبحانه وتعالى padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah سبحانه وتعالى ). Hamba yang Allah سبحانه وتعالى tidak memberikan rizki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama. 1

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara pelajaran dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinyapen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”. 2

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN

Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah سبحانه وتعالى . Demikian juga seorang Muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi ﷺ , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.

Niat yang baik saja tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bersedakah dengan uang curian atau korupsi. Nabi ﷺ bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ

Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima sedekah dari (hasil) ghulul (khianat). (HR. Muslim, no. 224)

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau sedekah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.

Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ûd رضي الله عنه pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka ‘Abdullah bin Mas’ûd رضي الله عنه berkata kepada mereka: “Apakah ini – yang aku lihat kalian sedang melakukannya-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad ﷺ , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para Sahabat Nabi masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah سبحانه وتعالى yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kalian adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah سبحانه وتعالى , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh ﷺ telah memberitakan kepada kami:

أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لَايُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ

“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.

Demi Allah سبحانه وتعالى , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kalian”. Kemudian beliau meninggalkan mereka. 3

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.

Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.

Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad ﷺ . Semoga Allah سبحانه وتعالى selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya.


RUJUKAN:

1. Shahîh Bukhâri

2. Shahîh Muslim

3. Kitab-kitab Sunan

4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir alJazâiri

5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli

6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi

7. Dan lain-lain


Footnote:

1 Hadits shahîhriwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406. Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253

2 Bahjatun Nâzhirin Syarah Riyadhus Shâlihin 1/608, syarah hadits no: 557

3 Hadits shahîh riwayat Dârimi di dalam Sunan, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasîth, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushul Bida’, hlm. 92

EDISI 04/THN. XIII/RAJAB 1430H/JULI 2009M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/tazkiyatun-nufus/adab-tentang-niat/